Kamis, 26 September 2013

Dari “Yang Tak Terpikirkan” Ke “Yang Terpikirkan”: Studi kritis Pemikiran Mohammed Arkoun

Diposting oleh Unknown di 06.33 0 komentar
Mohammed Arkoun, seorang intelektual Islam kontemporer, lahir pada 1928 di Kabilia, Aljazair.  Dia tumbuh dalam lingkungan yang memungkinkan dirinya menguasai 3 bahasa: Kabilia, Arab dan Prancis. Sebagai seorang yang mengenyam pendidikan di Paris, dia banyak terpengaruh oleh pemikir-pemikir Prancis saat itu. Pemikirannya terutama banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir seperti Derrida (Dekonstruksi-grammatologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi), Post-Strukturalisme de Saussure (linguistik), Levi Strauss (antropologi), Voltaire (Politik), Nietzche dan Sartre (Eksistensialisme), Descartes (Rasionalisme).

Kritik Nalar Islam (naqd al-‘Aql al-Islami) adalah proyek pemikiran yang dia gagas. Dari “Yang Tak Terpikirkan” ke “Yang Terpikirkan” merupakan bagian dari proyek pemikiran tersebut. Istilah “yang tak terpikirkan” adalah untuk menjelaskan hal-hal yang tidak mempunyai hubungan dan tidak saling terikat antara ajaran agama dengan praktik ajaran sehari-hari. Sedangkan “yang terpikirkan” merupakan hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya karena merupakan hal yang jelas atau boleh memikirkannya. Istilah-istilah tersebut berangkat dari kenyataan bahwa umat Islam mengalami stagnasi pemikiran disebabkan adanya dogma-dogma agama yang sebagian besar masih dianggap kaku dan tidak boleh dipertanyakan lagi atau diperdebatkan.

Menurut Arkoun, ranah keilmuan semisal fiqh telah terjangkiti oleh semangat ortodoksi yang berlebih-lebihan. Hal ini jelas terlihat setelah adanya sistematika konsep sunnah dan pembakuan fiqh mazhab Syafi’i. Otomatis hal ini menjadi “tak terpikirkan” dimana umat Islam banyak yang bertaqlid kepada hasil dari pemikir mazhab fiqh tersebut. Padahal sebelum adanya pembakuan itu, permasalahan fiqh merupakan hal “yang terpikirkan” dan santer dibicarakan. Sehingga bukannya mengalami kemajuan, pemikiran keilmuan Islam malah mengalami kemunduran yang signifikan.

Melalui kritik nalar islam inilah arkoun mempunyai tujuan untuk membebaskan kemandegan pemikiran islam dari pemapanan pemahaman agar apa yang sekarang tak terpikirkan menjadi terpikirkan kembali. Karena sebenarnya tidak ada pemikiran keagamaan yang bersifat sakral. Sebab, pemikiran keagamaan adalah  produk manusia yang bersifat historis, terbatas oleh ruang dan waktu.



Minggu, 16 Juni 2013

“Pustakawan Kahyangan”

Diposting oleh Unknown di 01.21 0 komentar
Jika kita mendengar kata perpustakaan, apa yang muncul di benak anda?  sebuah ruangan sempit dan berdebu di pojokan bangunan sekolah? ruangan yang dihuni berpuluh-puluh buku? Atau sebuah tempat bersemayamnya para serangga yang beranak pinak? Jika demikian, bagaimana dengan pustakawan? Apa pendapat anda mengenai pustakawan?
Pertanyaaan–pertanyaan di atas memang pertanyaan yang sangat umum sekali yang diajukan  untuk mengetahui apa pendapat masyarakat mengenai perpustakaan dan tentu saja pustakawan. Jika pendapat atau mindset  masyarakat tentang perpustakaan masih seperti itu, bagaimana pendapat mereka mengenai pustakawan? 
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa citra pustakawan Indonesia di mata masyarakat masih saja dilihat sebelah mata. Bagaimana tidak, suatu profesi yang menjadi kebanggaan di luar  negeri malah tak terdengar kabarnya di negara sendiri. Hal ini menjadi bukti bahwa profesi pustakawan bukanlah sebuah profesi yang banyak diminati seperti halnya dokter, insinyur, perawat, dan lain sebagainya.  
Seperti penuturan Hermawan dan  Zein (2006: 6) yang dikutip Suriani, bahwa berdasarkan paradigma lama khususnya di Indonesia, orang yang bekerja di perpustakaan tidak membanggakan, merasa rendah diri dan terbuang. Sering kali perpustakaan merupakan tempat buangan bagi orang-orang yang tidak bermutu. Banyak orang yang bekerja di perpustakaan tetapi tidak merasa menjadi pustakawan karena menjadi pustakawan bukanlah pilihan, hanya faktor nasib yang membawa mereka menjadi pustakawan, pelayanannya tidak profesional, merasa rendah diri, dan tidak ramah terhadap pengunjung perpustakaan merupakan penyebab buruknya citra profesi pustakawan.
Padahal menurut Undang-undang perpustakaan no.43 tahun 2007, Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan  Dengan demikian, untuk menjadi seorang pustakawan haruslah menempuh pendidikan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar pustakawan mempunyai pengetahuan dan skill  dibidangnya.
Selain itu, penyebaran informasi dewasa ini semakin tak terbendung, terlebih dengan adanya berbagai macam media yang bisa kita gunakan untuk mendapatkan informasi. Tak hanya buku, media elektronik seperti televisi, radio, terutama internet dapat memberikan kemudahan bagi kita dalam mencari dan mendapatkan informasi yang kita inginkan secara cepat dan praktis.
Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi perpustakaan untuk memberikan akses yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas akan kekayaan intelektual yang tersimpan baik di perpustakaan. Sebab dewasa ini, orang cenderung lebih memilih menggunakan internet untuk mencari informasi ketimbang mencari di perpustakaan. Seolah-olah internet dapat memberikan segala informasi daripada perpustakaan, dan profesi pustakawan pun tak ada pentingnya.
Lalu jika seperti itu, masih perlukah perpustakaan jika apa yang kita inginkan dapat kita temukan di internet? Jawabannya tentu saja perlu, karena informasi yang kita dapatkan di perpustakaan  jelas dapat dipertanggung-jawabkan, berbeda ketika misalnya kita mencari informasi di internet yang begitu banyaknya dan masih diragukan kerelevanannya. Inilah yang menjadi nilai plus dari suatu perpustakaan,karena perpustakaan memiliki sumberdaya manusia yaitu pustakawan rujukan (referensi) yang salah satu fungsi pustakawan ini adalah memberikan, memilah dan memilih sumber informasi yang tepat bagi pemustaka.
Menurut Rasdanelis, pustakawan UIN SUSKA Riau, pustakawan rujukan (referensi) adalah seorang pustakawan yang bertugas pada layanan rujukan. Layanan rujukan merupakan layanan dengan menyediakan informasi dan koleksi yang memberikan penjelasan tentang informasi tertentu. Informasi ini bersifat menyeluruh dalam lingkupnya; uraiannya padat, fungsinya memudahkan penemuan informasi dengan cepat, tepat dan benar. Untuk itu pustakawan rujukan dituntut untuk dapat memberikan informasi secara cepat, tepat, akurat dan efisien dari segi waktu dan biaya.
Mengambil dari istilah yang dipakai Solihin Arianto, kepala perpustakaan  UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam suatu perkuliahan, pustakawan rujukan adalah pustakawan kahyangan. Menurutnya, tingkatan paling tinggi dalam tataran pustakawan adalah pustakawan rujukan maka dengan itu beliau menyebut pustakawan rujukan sebagai pustakawan kahyangan. Dari istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa pustakawan rujukan bukanlah pustakawan biasa, artinya bahwa pustakawan rujukan dituntut untuk memahami dan mengenal betul seluk beluk informasi, penanganan terhadap informasi, dan bagaimana mendapatkan informasi serta dimana informasi tersebut berada.
Hal ini diharapkan mampu menjadikan pustakawan rujukan sebagai perantara antara sumber informasi dengan masyarakat pengguna (pemustaka). Samuel Greens, bapak  layanan rujukan di Amerika, seperti yang dikutip Subrata, menekankan pentingnya tujuan orang yang menanyakan informasi. Untuk itu Greens membuat pernyataan tertulis, agar pustakawan melihat dirinya tidak sekedar sebagai penjaga arsip melainkan lebih memerankan dirinya sebagai penghubung aktif antara informasi dengan para pemakainya.
Ledakan informasi akibat perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang terjadi dewasa ini menyebabkan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, akibatnya kebutuhan pemakai perpustakaan terhadap kebutuhan akan informasi juga mengalami peningkatan yang drastis. Situasi seperti ini harus dapat diantisipasi oleh perpustakaan dalam melakukan identifikasi terhadap kebutuhan informasi dari pemakai, perpustakaan tidak dapat lagi bersikap pasif menunggu pemakai tetapi harus secara aktif mampu menawarkan informasi yang sesuai dengan minat pemustaka dan memberi kemudahan akses ke berbagai sumber informasi.
Salah satu upaya yang ditempuh sebagian besar perpustakaan di Indonesia yaitu dengan adanya penerapan teknologi informasi (TI) sebagai sarana akses layanan di perpustakaan, seperti adanya web perpustakaan, perpustakaan digital dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar pemustaka dapat mengakses informasi dengan mudah kapan saja dan dimana saja.
Agar mandapat tempat di hati pemustaka, pustakawan rujukan sebagai mitra penyampai informasi kepada pemustaka diharapkan dapat dilakukan dengan komunikasi yang baik. Pustakawan rujukan juga dituntut untuk selalu melayani pemustaka dengan santun dan ramah., selalu mengikuti perkembangan informasi yang ada.



Referensi
Rasdanelis, S.Ag, SS., M.Hum. 2009. Pustakawan Rujukan Sebagai “Intermediary”. Buletin Perpustakaan UIN SUSKA Riau no.4,  Tahun III.
Suriani. Konsep Diri Pustakawan. 2010. Buletin Perpustakaan UIN SUSKA Riau no.7,  Tahun IV.
Subrata, Gatot S.Kom Kajian Ilmu Perpustakaan: Literatur Primer, Sekunder Dan Tersier. Pdf. Diakses pada tanggal 17 Mei 2012 pukul 14.15.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Pdf. Diakses pada tanggal 17 Mei 2012 pukul 14.30
Arianto, Solihin. Manajemen Koleksi. Disampaikan dalam perkuliahan tahun 2012.














Senin, 27 Mei 2013

Copyright VS Open Access = Common Creative Writing ??

Diposting oleh Unknown di 21.24 0 komentar

 Perkembangan teknologi, lagi-lagi menjadi penyebab tumbuh derasnya kebutuhan manusia akan informasi sob! Apalagi tak dapat dipungkiri bahwa internet telah menjadi media yang paling banyak digunakan untuk mendapatkan informasi selain perpustakaan. Hal inilah yang menjadi alasan adanya gerakan open access.


Menurut artikel yang saya kutip dari http://digilib.undip.ac.id[1], Open acces merujuk kepada aneka literatur digital yang tersedia secara terpasang (online), gratis (free of charge), dan terbebas dari semua ikatan atau hambatan hak cipta atau lisensi. Artinya, ada sebuah penyedia yang meletakkan berbagai berkas, dan setiap berkas itu disediakan untuk siapa saja yang dapat mengakses. Berdasarkan pengertian itu, maka open access otomatis juga membebaskan hambatan akses yang biasanya muncul karena biaya (entah itu biaya berlangganan, biaya lisensi, atau membayar-setiap-melihat alias pay-per-view fees).

Gerakan Open access ini hadir dalam menjawab setiap diskriminasi yang terjadi antara masyarakat luas yang ingin mendapatkan informasi secara bebas dan terbatasnya akses yang didapatkan akibat adanya biaya yang harus ditanggung dalam mengakses informasi ataupun terbatasnya akses karena adanya lisensi. Hal ini tentu saja menjadi suatu hal yang mendapat respon baik dimana masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi yang mereka inginkan. Hal ini pulalah yang menjadi motivasi bagi perpustakaan untuk menyediakan layanan informasi secara bebas dan berkualitas kepada para penggunanya.

Selain itu, gerakan open access muncul sebagai perlawanan terhadap individu, kelompok atau lembaga tertentu yang menghambat masyarakat luas untuk memperoleh akses ke sumber-sumber informasi yang berkualitas. Gagasan dan pemikiran yang mendorong lahirnya gerakan open access adalah:
1)     Meningkatnya komersialisasi terbitan jurnal ilmiah.
2)     Keharusan penulis menyerahkan copyright ke penerbit sebelum penerbitan.
3)     Keharusan perpustakaan membayar biaya yang semakin mahal untuk melanggan jurnal cetak.
4)     Keharusan memperoleh lisensi untuk akses versi elektronik.
5)     Pembatalan langganan yang mengakibatkan para pengguna gagal mengakses ke sumber-sumber informasi yang diperlukan. (Tedd and Large, 2005:53) [2] 

Jika kita cermati, adanya gerakan open access sebenarnya sangat berisiko sekali terhadap adanya pelanggaran hak cipta atau hak kekayaan intelektual, dimana akses yang diberikan sangat bebas. Hal ini tentu saja menjadi ancaman tersendiri karena karya intelektual tersebut rawan disalahgunakan atau rawan disebarluaskan.

belum tau apa itu copyright atau hak cipta? Ok ini dia penjelasannya sob..

            Copyright atau hak cipta menurut Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3] Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 1 butir 1)

Dengan adanya peraturan diatas, setiap karya tulis secara otomatis memiliki hak cipta. Landasan hukum yang digunakan untuk open access biasanya adalah izin resmi yang diberikan (consent) oleh pemegang hak cipta, atau pernyataan bahwa literatur yang bersangkutan adalah milik umum (public domain). Karena sudah mendapat izin dari si empunya hak cipta, maka sebuah karya yang berstatus open access sebenarnya tidak melakukan penghapusan, perubahan, atau pelanggaran undang-undang tentang hak cipta. Dalam hal ini, maka open access juga bekerja dengan prinsip kesukarelaan dari pihak pencipta dan pemegang hak cipta.[4]

            Penjelasan paragraf diatas adalah sebuah jawaban dari kekhawatiran akan adanya gerakan open access dimana literatur/jurnal yang diakses rawan untuk diperbanyak dan disebarluaskan dengan semena-mena oleh pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari adanya open access tersebut. Kalau sudah begitu, siapa yang mau tanggung jawab? Ya gak? *loh -_^

            Nah kita nih sebagai orang akademisi sob, sudah seharusnya menghormati hak cipta meski informasi yang kita dapatkan diakses dengan sebebas-bebasnya karena adanya open access ini, cara paling sederhana yaitu dengan cara common creative writing atau bahasa singkatnya cara mengutip yang benar. Hal ini menjadi penting supaya kita dan orang lain tahu informasi atau kutipan yang kita tulis dalam tulisan kita itu berasal dari pendapatnya siapa dan darimana.
Cara mengutip yang baik ada 2 cara sob,
1.    Menggunakan footnote. Contohnya: “Seperti yang dikatakan Saiful Bahri,  trilogi epistemologi Aljabiri merupakan salahsatu sumbangsih terbesar untuk pemikiran islam.”1

[1Saiful Bahri, Membaca Aljabiri: dari Prinsip Pembacaan Kontemporer hingga Epistemologi dalam Khazanah Keilmuan Islam(2013:3)]



M
2.    Menggunakan bodynote. Contohnya: “Trilogi epistemologi Aljabiri merupakan salahsatu sumbangsih terbesar untuk pemikiran islam (Saiful Bahri, 2013:3).”








[2] Dikutip oleh Solihin Arianto dalam The Keyword , “Bercermin Pada Gerakan Open Access: Menghilangkan Kesenjangan Akses Informasi Dalam Layanan Perpustakaan”.
[3] http://www.dgip.go.id/hak-cipta diakses pada tanggal 26 Mei 2013
[4] http://digilib.undip.ac.id/index.php/component/content/article/53-perpuspedia/178-open-access-


Minggu, 21 April 2013

TERSESAT DIJALAN YANG LURUS

Diposting oleh Unknown di 07.51 0 komentar







Ok this is the true story mengenai perjalanan hidupku yang tiba-tiba kuliah di jurusan ilmu perpustakaan, siapin matanya buat baca ni cerita ya ... ^_^

Jurusan ilmu perpustakaan?? Tau gak? Enggak? Ya sama hehe :D
Tapi itu dulu sob, sekarang pan aku lagi kuliah jurusan ilmu perpustakaan, masa gak ngerti sama jurusan sendiri.. *sombong dikit, tepatnya aku kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Awalnya emang asing banget sama tuh jurusan, soalnya gak pernah denger juga kalo ada jurusan itu, boro2 tau, temen2, kakak angkatan d SMA, sama para tetangga yang masih pada kuliah gak ada tuh yang ngomongin jurusan ilmu perpustakaan atau yang kuliahnya di jurusan ilmu perpustakaan.

Yup, ntu jurusan aku kenal dari kakak ipar aslinya, kenapa dia tau dan aku enggak? Karna ternyata adiknya juga kuliah di jurusan itu, *ooooo, sekarang si uda lulus dan kerja *alhamdulillah :D

Awal ceritanya kek gini, pas kelas tiga SMA, apalagi kolo udah ujian pasti deh sibuk mikir mu kuliah dimana, jangankan abis ujian, sebelum ujian pun kita udah sibuk ngurus ini itu wat daftar kuliah, ya gak?

Nah disitulah saat2 paling labil jadi siswa SMA, galau juga mikirin hal kek gitu. Dulu tuh sebelum aku daftar di jurusan ilmu perpustakaan, pengen banget kuliah di Bandung, dan gak kepikiran sama sekali mu kuliah di Jogja. UNPAD, UPI, dan beberapa universitas swasta uda jadi korban pendaftaran. Hasilnya? Gak ada satupun yang berhasil hehe, kata ibu si belum rejeki aja katanya, padahal ya, bapak gak ngijinin aslinya #ketahuan deh 

Setelah gagal daftar di berbagai universitas, galau iya, tapi gak patah semangat juga, akhirnya pindah haluan, pengen sekolah kedinasan, *cieeee.. eh jangan salah, aku juga pernah daftar IPDN loh, ya meskipun gak lolos gara-gara kurang tinggi, hehehe, selain itu juga sempet searching2 sekolah kedinasan lain dibantu mbah google, tapi ternyata pendaftarannya uda pada tutup. *hufh, nambah galau deh tuh akhirnya ...

Nah di saat2 galau banget kek gitu, dateng deh saran dan segala penjelasannya dari kakak ipar buat daftar di UIN Jogja jurusan ilmu perpustakaan. Sempat bimbang memang, tapi ya daripada kuliah keguruan deket rumah sesuai saran bapak, akhirnya daftar juga, berbekal keinginan kuliah di tempat jauh untuk nyari pengalaman sama do`a dari ibu. ^_^

Kuliah di jurusan ilmu perpustakaan  (pilihan pertama waktu tes loh.. hihi), rasanya.... Gelap! *maklum kena sindrome mahasiswa baru, hehe. Semuanya flat, soalnya kuliah ya cuma ngikut arus aja, kerenannya si.. masih dalam tahap pengamatan *haissshhh

Waktu terus berjalan dan akhirnya aku bisa mengikuti arus itu dengan hatiku. Kok bisa?
Soalnya ternyata dari sana aku dapet banyak pelajaran, gak cuma pelajaran sekitar perpustakaan dan pustakawan tapi juga bisa merubah mindset awalku kuliah di jurusan ini yang katanya lulusan ilmu perpustakaan cuma bisa jaga buku ternyata salah besar mamen!!
Kata siapa pustakawan cuma bisa jaga buku? Jawabannya baca tulisan blogku yang sebelumnya ya hihi ...

Jadi pustakawan harus multifungsi sob, apalagi ni zaman uda zaman teknologi. Semuanya serba instan, tapi ya jangan jadi pustakawan instan juga, gak baik bagi kesehatan *loh? Wkwkwk

Gak cuma itu, dosen2 kuliahku juga pada cetar membahana, tiap kuliah kita dihadapkan pada persoalan2 sekitar perpustakaan dan pustakawan biar kita peka dan gak cuma jadi mahasiswa yang bisanya planga plongo ,, hihi

Nah sob, dijurusan ini juga aku ikut organisasi yang ngedukung banget sama kuliah, Liberty namanya. Kalo sobat2 sekalian masih gelap mata pas kuliah di jurusan ini, jangan khawatir, liberty bakal siap mbantu kawan2 semua. Ada banyak kegiatan liberty yang bener2 seru, mulai dari belajar bareng, kegiatan pengolahan perpustakaan, sampe ikut even2 luar jurusan juga. Manfaatnya so pasti buat bekal kita di masa depan yang gak cuma cukup dalam hal akademik tapi skillnya juga ...

So, jangan pernah takut ngambil jurusan ilmu perpustakaan yaaaa ... Keep On Fire Guys !!





Minggu, 17 Maret 2013

Perpustakaan Untuk Rakyat, TBM kah??

Diposting oleh Unknown di 14.25 0 komentar
Perpustakaan Untuk rakyat merupakan sebuah judul buku karya Blasius Sudarsono “berduet” dengan Ratih Rahmawati. Judul ini pula yang diangkat menjadi tema kuliah umum Prodi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 11Maret 2013. Narasumbernya pun gak nanggung-nanggung, yaitu penulis buku Perpustakaan Untuk Rakyat, Blasius Sudarsono, sang ‘filsuf’ kepustakawanan,dan juga Ratih Rahmawati, mahasiswi jurusan Ilmu perpustakaan UI. Eits .. selain itu hadir juga Bu Afia Rosdiana dari Perpustakaan Kota Yogyakarta.

Pada kuliah Umum kali ini, Prodi IPI menghadirkan sesuatu yang berbeda, yaitu bedah buku. Buku yang ditulis Pak Blas (panggilan akrab Blasius Sudarsono) ini bermula saat ada mahasiswa ilmu perpustakaan, Ratih Rahmawati,  yang mencoba berdiskusi kepada beliau mengenai kegalauannya kuliah di jurusan ilmu perpustakaan, padahal posisi mbak Ratih sudah semester 6, kok bisa?? Tentu saja bisa, jangankan yang masih kuliah, yang udah lulus pun kadang pada masih galau .. hihi

Menurut Bu Afi, sapaan akrab Afia Rosdiana, buku yang ditulis pak Blas ini membawa angin segar bagi pecinta perpustakaan. Pasalnya, buku-buku yang beliau temukan jika berkaitan dengan perpustakaan hanyalah sebatas pada petunjuk-petunjuk pekerjaan teknis di perpustakaan, bukan apa itu perpustakaan.
Ini yang menarik guys, selain membahas kegalauan mahasiswa yang kuliah di jurusan ilmu perpustakaan, buku ini juga membahas makna dari perpustakaan masyarakat dan TBM yang katanya “dibeda-bedain”. Loh kok bis gitu? Penasaran? Mari kita lanjut :D

Oh iya, penulis mau izin ya untuk pembahasan kali ini yang menjadi pusat perhatian adalah perpustakaan dan TBM :D 

Apa sih TBM itu? Menurut buku ini guys, TBM (mengacu pada KEMENDIKBUD) merupakan lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan dan memberikan layanan dibidang bahan bacaan, berupa: buku, majalah, tabloid, koran, komik, dan bahan multi media lain, yang dilengkapi  dengan ruangan untuk membaca, berdiskusi, bedah buku, menulis, dan kegiatan literasi lainnya dan didukung oleh pengelola yang berperan sebagai motivator. Begitu kira-kira pengertiannya guys..
Lalu bedanya sama perpustakaan apa??

Ternyata nih guys, yang beda cuma namanya, TBM itu berada dibawah naungan KEMENDIKBUD sedangkan Perpustakaan Masyarakat berada dibawah naungan Perpusnas. So, untuk fungsi dan manfaatnya sama aja guys, jadi jagan khawatir berpusing-pusing ria mikirin hal itu yaa... ^_^

Penelitian mengenai TBM yang dilakukan mbak Ratih pada isi buku tersebut dilakukan di Kota Yogyakarta. Kenapa Yogyakarta?? Karena guys, di Yogyakarta perkembangan TBM melaju dengan pesat. Ini membuktikan bahwa minat baca masyarakatnya sudah mengalami peningkatan, yang katanya  minat baca/budaya baca masyarakat Indonesia rendah, sekarang? Enggak lah yaw .. 

Pak Blas juga mengungkapkan bahwa antara perpustakaan dan TBM harus bersinergi. Yang menjaditolak ukur adalah bahwa terdapat alasan mendasar dari kedua hal tersebut, yaitu kesejahteraan dan kecerdasan hidup bangsa Indonesia.

Lalu dimana posisi pustakawan??
Library is Librarian, begitu kata beliau. Maksudnya, perpustakaan itu tak lain ya pustakawan itu sendiri. Masih bingung?? 

Beliau menganalogikan bahwa perpustakaan itu sebuah restoran, mengapa? Beliau bertutur jika restoran menyajikan santapan jasmani untuk mengenyangkan perut, kenapa tidak bahwa perpustakaan juga menyajikan santapan rohani dan intelektual. Dan pustakawan adalah koki dari perpustakaan tersebut. Disamping itu menurut beliau (pak Blas), pustakawan sendiri harus punya soft side of librarianship, yaitu jiwa kepustakawanan. Sedangkan hard sidenya adalah ilmu dan teknologi perpustakaan. Interaksi keduanya adalah praktik keseharian kepustakawanan. 

Jadi nih guys, mau perpustakaan, mau TBM, gak jadi masalah, yang penting pustakawan dapat menjadikan kedua hal tersebut sebagai perantara untuk mencerdaskan bangsa yang tentu saja harus diimbangi dengan kreativitas, skill dan jiwa kepustakawanan !!
SALAM PUSTAKAWAN :D
 


 

KETIKAKETIK Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea