Minggu, 16 Juni 2013

“Pustakawan Kahyangan”

Diposting oleh Unknown di 01.21 0 komentar
Jika kita mendengar kata perpustakaan, apa yang muncul di benak anda?  sebuah ruangan sempit dan berdebu di pojokan bangunan sekolah? ruangan yang dihuni berpuluh-puluh buku? Atau sebuah tempat bersemayamnya para serangga yang beranak pinak? Jika demikian, bagaimana dengan pustakawan? Apa pendapat anda mengenai pustakawan?
Pertanyaaan–pertanyaan di atas memang pertanyaan yang sangat umum sekali yang diajukan  untuk mengetahui apa pendapat masyarakat mengenai perpustakaan dan tentu saja pustakawan. Jika pendapat atau mindset  masyarakat tentang perpustakaan masih seperti itu, bagaimana pendapat mereka mengenai pustakawan? 
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa citra pustakawan Indonesia di mata masyarakat masih saja dilihat sebelah mata. Bagaimana tidak, suatu profesi yang menjadi kebanggaan di luar  negeri malah tak terdengar kabarnya di negara sendiri. Hal ini menjadi bukti bahwa profesi pustakawan bukanlah sebuah profesi yang banyak diminati seperti halnya dokter, insinyur, perawat, dan lain sebagainya.  
Seperti penuturan Hermawan dan  Zein (2006: 6) yang dikutip Suriani, bahwa berdasarkan paradigma lama khususnya di Indonesia, orang yang bekerja di perpustakaan tidak membanggakan, merasa rendah diri dan terbuang. Sering kali perpustakaan merupakan tempat buangan bagi orang-orang yang tidak bermutu. Banyak orang yang bekerja di perpustakaan tetapi tidak merasa menjadi pustakawan karena menjadi pustakawan bukanlah pilihan, hanya faktor nasib yang membawa mereka menjadi pustakawan, pelayanannya tidak profesional, merasa rendah diri, dan tidak ramah terhadap pengunjung perpustakaan merupakan penyebab buruknya citra profesi pustakawan.
Padahal menurut Undang-undang perpustakaan no.43 tahun 2007, Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan  Dengan demikian, untuk menjadi seorang pustakawan haruslah menempuh pendidikan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar pustakawan mempunyai pengetahuan dan skill  dibidangnya.
Selain itu, penyebaran informasi dewasa ini semakin tak terbendung, terlebih dengan adanya berbagai macam media yang bisa kita gunakan untuk mendapatkan informasi. Tak hanya buku, media elektronik seperti televisi, radio, terutama internet dapat memberikan kemudahan bagi kita dalam mencari dan mendapatkan informasi yang kita inginkan secara cepat dan praktis.
Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi perpustakaan untuk memberikan akses yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas akan kekayaan intelektual yang tersimpan baik di perpustakaan. Sebab dewasa ini, orang cenderung lebih memilih menggunakan internet untuk mencari informasi ketimbang mencari di perpustakaan. Seolah-olah internet dapat memberikan segala informasi daripada perpustakaan, dan profesi pustakawan pun tak ada pentingnya.
Lalu jika seperti itu, masih perlukah perpustakaan jika apa yang kita inginkan dapat kita temukan di internet? Jawabannya tentu saja perlu, karena informasi yang kita dapatkan di perpustakaan  jelas dapat dipertanggung-jawabkan, berbeda ketika misalnya kita mencari informasi di internet yang begitu banyaknya dan masih diragukan kerelevanannya. Inilah yang menjadi nilai plus dari suatu perpustakaan,karena perpustakaan memiliki sumberdaya manusia yaitu pustakawan rujukan (referensi) yang salah satu fungsi pustakawan ini adalah memberikan, memilah dan memilih sumber informasi yang tepat bagi pemustaka.
Menurut Rasdanelis, pustakawan UIN SUSKA Riau, pustakawan rujukan (referensi) adalah seorang pustakawan yang bertugas pada layanan rujukan. Layanan rujukan merupakan layanan dengan menyediakan informasi dan koleksi yang memberikan penjelasan tentang informasi tertentu. Informasi ini bersifat menyeluruh dalam lingkupnya; uraiannya padat, fungsinya memudahkan penemuan informasi dengan cepat, tepat dan benar. Untuk itu pustakawan rujukan dituntut untuk dapat memberikan informasi secara cepat, tepat, akurat dan efisien dari segi waktu dan biaya.
Mengambil dari istilah yang dipakai Solihin Arianto, kepala perpustakaan  UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam suatu perkuliahan, pustakawan rujukan adalah pustakawan kahyangan. Menurutnya, tingkatan paling tinggi dalam tataran pustakawan adalah pustakawan rujukan maka dengan itu beliau menyebut pustakawan rujukan sebagai pustakawan kahyangan. Dari istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa pustakawan rujukan bukanlah pustakawan biasa, artinya bahwa pustakawan rujukan dituntut untuk memahami dan mengenal betul seluk beluk informasi, penanganan terhadap informasi, dan bagaimana mendapatkan informasi serta dimana informasi tersebut berada.
Hal ini diharapkan mampu menjadikan pustakawan rujukan sebagai perantara antara sumber informasi dengan masyarakat pengguna (pemustaka). Samuel Greens, bapak  layanan rujukan di Amerika, seperti yang dikutip Subrata, menekankan pentingnya tujuan orang yang menanyakan informasi. Untuk itu Greens membuat pernyataan tertulis, agar pustakawan melihat dirinya tidak sekedar sebagai penjaga arsip melainkan lebih memerankan dirinya sebagai penghubung aktif antara informasi dengan para pemakainya.
Ledakan informasi akibat perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang terjadi dewasa ini menyebabkan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, akibatnya kebutuhan pemakai perpustakaan terhadap kebutuhan akan informasi juga mengalami peningkatan yang drastis. Situasi seperti ini harus dapat diantisipasi oleh perpustakaan dalam melakukan identifikasi terhadap kebutuhan informasi dari pemakai, perpustakaan tidak dapat lagi bersikap pasif menunggu pemakai tetapi harus secara aktif mampu menawarkan informasi yang sesuai dengan minat pemustaka dan memberi kemudahan akses ke berbagai sumber informasi.
Salah satu upaya yang ditempuh sebagian besar perpustakaan di Indonesia yaitu dengan adanya penerapan teknologi informasi (TI) sebagai sarana akses layanan di perpustakaan, seperti adanya web perpustakaan, perpustakaan digital dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar pemustaka dapat mengakses informasi dengan mudah kapan saja dan dimana saja.
Agar mandapat tempat di hati pemustaka, pustakawan rujukan sebagai mitra penyampai informasi kepada pemustaka diharapkan dapat dilakukan dengan komunikasi yang baik. Pustakawan rujukan juga dituntut untuk selalu melayani pemustaka dengan santun dan ramah., selalu mengikuti perkembangan informasi yang ada.



Referensi
Rasdanelis, S.Ag, SS., M.Hum. 2009. Pustakawan Rujukan Sebagai “Intermediary”. Buletin Perpustakaan UIN SUSKA Riau no.4,  Tahun III.
Suriani. Konsep Diri Pustakawan. 2010. Buletin Perpustakaan UIN SUSKA Riau no.7,  Tahun IV.
Subrata, Gatot S.Kom Kajian Ilmu Perpustakaan: Literatur Primer, Sekunder Dan Tersier. Pdf. Diakses pada tanggal 17 Mei 2012 pukul 14.15.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Pdf. Diakses pada tanggal 17 Mei 2012 pukul 14.30
Arianto, Solihin. Manajemen Koleksi. Disampaikan dalam perkuliahan tahun 2012.














 

KETIKAKETIK Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea