Mohammed Arkoun, seorang intelektual Islam kontemporer,
lahir pada 1928 di Kabilia, Aljazair.
Dia tumbuh dalam lingkungan yang memungkinkan dirinya menguasai 3 bahasa:
Kabilia, Arab dan Prancis. Sebagai seorang yang mengenyam pendidikan di Paris,
dia banyak terpengaruh oleh pemikir-pemikir Prancis saat itu. Pemikirannya
terutama banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir seperti Derrida
(Dekonstruksi-grammatologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault
(epistemologi), Post-Strukturalisme de Saussure (linguistik), Levi Strauss
(antropologi), Voltaire (Politik), Nietzche dan Sartre (Eksistensialisme), Descartes (Rasionalisme).
Kritik Nalar Islam (naqd al-‘Aql al-Islami) adalah
proyek pemikiran yang dia gagas. Dari “Yang Tak Terpikirkan” ke “Yang
Terpikirkan” merupakan bagian
dari proyek pemikiran tersebut.
Istilah
“yang
tak terpikirkan” adalah untuk menjelaskan hal-hal yang tidak mempunyai hubungan
dan tidak saling terikat antara ajaran agama dengan praktik ajaran sehari-hari. Sedangkan “yang
terpikirkan” merupakan hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya
karena merupakan hal yang jelas atau boleh memikirkannya. Istilah-istilah
tersebut berangkat dari kenyataan bahwa umat Islam mengalami stagnasi pemikiran
disebabkan adanya dogma-dogma agama yang sebagian besar masih dianggap kaku dan
tidak boleh dipertanyakan lagi atau diperdebatkan.
Menurut Arkoun, ranah keilmuan
semisal fiqh telah terjangkiti oleh semangat ortodoksi yang berlebih-lebihan. Hal ini jelas terlihat
setelah adanya sistematika konsep sunnah dan pembakuan fiqh mazhab Syafi’i. Otomatis hal ini menjadi
“tak terpikirkan” dimana umat Islam banyak yang bertaqlid kepada hasil dari
pemikir mazhab fiqh tersebut. Padahal sebelum adanya pembakuan itu,
permasalahan fiqh merupakan hal “yang terpikirkan” dan santer dibicarakan. Sehingga bukannya mengalami kemajuan, pemikiran keilmuan Islam malah mengalami kemunduran yang
signifikan.
Melalui
kritik nalar islam inilah arkoun mempunyai tujuan untuk membebaskan kemandegan
pemikiran islam dari pemapanan pemahaman agar apa yang sekarang tak terpikirkan
menjadi terpikirkan kembali. Karena sebenarnya tidak ada pemikiran keagamaan
yang bersifat sakral. Sebab, pemikiran keagamaan adalah produk manusia yang bersifat historis,
terbatas oleh ruang dan waktu.