Jika kita mendengar kata perpustakaan, apa yang muncul di benak
anda? sebuah ruangan sempit dan berdebu
di pojokan bangunan sekolah? ruangan yang dihuni berpuluh-puluh buku? Atau
sebuah tempat bersemayamnya para serangga yang beranak pinak? Jika demikian,
bagaimana dengan pustakawan? Apa pendapat anda mengenai pustakawan?
Pertanyaaan–pertanyaan di atas memang pertanyaan yang sangat umum sekali yang diajukan untuk mengetahui apa pendapat masyarakat mengenai perpustakaan dan
tentu saja pustakawan. Jika pendapat atau mindset masyarakat tentang perpustakaan masih seperti itu, bagaimana pendapat
mereka mengenai pustakawan?
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa citra pustakawan Indonesia di mata masyarakat masih saja dilihat sebelah mata.
Bagaimana tidak, suatu profesi yang menjadi kebanggaan di luar negeri malah tak terdengar kabarnya di negara sendiri. Hal ini
menjadi bukti bahwa profesi pustakawan bukanlah sebuah profesi yang banyak
diminati seperti halnya dokter, insinyur, perawat, dan lain sebagainya.
Seperti penuturan Hermawan dan
Zein (2006: 6) yang dikutip Suriani, bahwa berdasarkan paradigma lama
khususnya di Indonesia, orang yang bekerja di perpustakaan tidak membanggakan,
merasa rendah diri dan terbuang. Sering kali perpustakaan merupakan tempat
buangan bagi orang-orang yang tidak bermutu. Banyak orang yang bekerja di
perpustakaan tetapi tidak merasa menjadi pustakawan karena menjadi pustakawan
bukanlah pilihan, hanya faktor nasib yang membawa mereka menjadi pustakawan,
pelayanannya tidak profesional, merasa rendah diri, dan tidak ramah terhadap
pengunjung perpustakaan merupakan penyebab buruknya citra profesi pustakawan.
Padahal menurut Undang-undang perpustakaan no.43 tahun 2007,
Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan Dengan demikian, untuk menjadi seorang
pustakawan haruslah menempuh pendidikan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan
agar pustakawan mempunyai pengetahuan dan skill dibidangnya.
Selain itu, penyebaran informasi dewasa ini semakin tak terbendung,
terlebih dengan adanya berbagai macam media yang bisa kita gunakan untuk
mendapatkan informasi. Tak hanya buku, media elektronik seperti televisi,
radio, terutama internet dapat memberikan kemudahan bagi kita dalam mencari dan
mendapatkan informasi yang kita inginkan secara cepat dan praktis.
Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi perpustakaan untuk
memberikan akses yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas akan kekayaan
intelektual yang tersimpan baik di perpustakaan. Sebab dewasa ini, orang cenderung lebih memilih menggunakan internet
untuk mencari informasi ketimbang mencari di perpustakaan. Seolah-olah internet
dapat memberikan segala informasi daripada perpustakaan, dan profesi pustakawan
pun tak ada pentingnya.
Lalu jika seperti itu, masih perlukah perpustakaan jika apa yang
kita inginkan dapat kita temukan di internet? Jawabannya tentu saja perlu,
karena informasi yang kita dapatkan di perpustakaan
jelas dapat dipertanggung-jawabkan, berbeda ketika misalnya kita mencari
informasi di internet yang begitu banyaknya dan masih diragukan kerelevanannya. Inilah yang menjadi nilai plus dari suatu perpustakaan,karena perpustakaan memiliki sumberdaya manusia yaitu
pustakawan rujukan (referensi) yang salah satu fungsi pustakawan ini adalah memberikan, memilah dan memilih sumber informasi
yang tepat bagi pemustaka.
Menurut Rasdanelis, pustakawan UIN SUSKA Riau, pustakawan rujukan
(referensi) adalah seorang pustakawan yang bertugas pada layanan rujukan.
Layanan rujukan merupakan layanan dengan menyediakan informasi dan koleksi yang
memberikan penjelasan tentang informasi tertentu. Informasi ini bersifat
menyeluruh dalam lingkupnya; uraiannya padat, fungsinya memudahkan penemuan
informasi dengan cepat, tepat dan benar. Untuk itu pustakawan rujukan dituntut
untuk dapat memberikan informasi secara cepat, tepat, akurat dan efisien dari
segi waktu dan biaya.
Mengambil dari istilah yang dipakai Solihin Arianto, kepala perpustakaan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam suatu perkuliahan, pustakawan rujukan adalah
pustakawan kahyangan. Menurutnya, tingkatan paling tinggi dalam tataran
pustakawan adalah pustakawan rujukan maka dengan itu beliau menyebut pustakawan
rujukan sebagai pustakawan kahyangan. Dari istilah tersebut dapat disimpulkan
bahwa pustakawan rujukan bukanlah pustakawan biasa, artinya bahwa pustakawan
rujukan dituntut untuk memahami dan
mengenal betul seluk beluk informasi, penanganan terhadap informasi, dan
bagaimana mendapatkan informasi serta dimana informasi tersebut berada.
Hal ini diharapkan mampu menjadikan pustakawan rujukan sebagai
perantara antara sumber informasi dengan masyarakat pengguna (pemustaka). Samuel Greens, bapak
layanan rujukan di Amerika, seperti yang dikutip Subrata,
menekankan pentingnya tujuan orang yang menanyakan informasi. Untuk itu Greens
membuat pernyataan tertulis, agar pustakawan melihat dirinya tidak sekedar
sebagai penjaga arsip melainkan lebih memerankan dirinya sebagai penghubung
aktif antara informasi dengan para pemakainya.
Ledakan informasi akibat perkembangan teknologi informasi dan
telekomunikasi yang terjadi dewasa ini menyebabkan ilmu pengetahuan berkembang
dengan pesat, akibatnya kebutuhan pemakai perpustakaan terhadap kebutuhan akan
informasi juga mengalami peningkatan yang drastis. Situasi seperti ini harus
dapat diantisipasi oleh perpustakaan dalam melakukan identifikasi terhadap
kebutuhan informasi dari pemakai, perpustakaan tidak dapat lagi bersikap pasif
menunggu pemakai tetapi harus secara aktif mampu menawarkan informasi yang
sesuai dengan minat pemustaka dan memberi kemudahan akses ke berbagai sumber
informasi.
Salah satu upaya yang ditempuh sebagian besar perpustakaan di
Indonesia yaitu dengan adanya penerapan teknologi informasi (TI) sebagai sarana
akses layanan di perpustakaan, seperti adanya web perpustakaan, perpustakaan
digital dan lain sebagainya. Hal ini
dimaksudkan agar pemustaka dapat mengakses informasi dengan mudah kapan saja
dan dimana saja.
Agar mandapat tempat di hati pemustaka, pustakawan
rujukan sebagai mitra penyampai informasi kepada pemustaka diharapkan dapat
dilakukan dengan komunikasi yang baik. Pustakawan rujukan juga dituntut untuk
selalu melayani pemustaka dengan santun dan ramah., selalu mengikuti perkembangan informasi yang ada.
Referensi
Rasdanelis, S.Ag, SS., M.Hum. 2009.
Pustakawan Rujukan Sebagai “Intermediary”. Buletin Perpustakaan UIN SUSKA Riau
no.4, Tahun III.
Suriani. Konsep Diri Pustakawan. 2010.
Buletin Perpustakaan UIN SUSKA Riau no.7,
Tahun IV.
Subrata, Gatot S.Kom Kajian Ilmu Perpustakaan: Literatur Primer,
Sekunder Dan Tersier. Pdf. Diakses pada tanggal 17 Mei 2012 pukul 14.15.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007
Tentang Perpustakaan. Pdf. Diakses pada tanggal 17 Mei 2012 pukul 14.30
Arianto, Solihin. Manajemen Koleksi. Disampaikan dalam perkuliahan tahun
2012.
0 komentar:
Posting Komentar